“Merek adalah hak kebendaan yang bisa dipertahankan pada siapa dan mempunyai hak absolut untuk lakukan hak tuntut atas pelanggaran hak merek itu, terhitung untuk menuntut pelanggaran hak itu lewat komunitas arbitrase di Tubuh Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).”
Konsultan HKI terdaftar adalah salah satunya sisi paling penting atas satu produk yang dibuat perusahaan/korporasi. Merek menjadi nilai lebih untuk produk barang atau layanan. Misalkan saja, 2 (dua) buah botol yang berisi juice buah dengan kualitas dan jumlah yang serupa, karena itu botol juice yang dikasih merek akan dipandang lebih baik serta lebih gampang dikenang dibanding botol juice yang tiada merek, hingga menempel di daya ingat customer. Dengan begitu, konsultan hki terdaftar mempunyai andil penting untuk perusahaan dalam proses marketing satu produk. Karena itu, beberapa dari perusahaan lakukan registrasi merek, supaya tidak langsung bisa diambil atau dipakai secara tiada hak oleh faksi lain. Walau merek atas satu produk perusahaan sudah didaftar sering banyak memunculkan perselisihan atas merek itu.
Dalam Pasal 83 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 mengenai Merek dan Tanda-tanda Geografis ( “UU Merek dan Tanda-tanda Geografis”) mengendalikan jika:
“Pemilik Merek tercatat dan/atau yang menerima Lisensi Merek tercatat bisa ajukan tuntutan pada faksi yang lain secara tiada hak memakai Merek yang memiliki kesamaan pada dasarnya atau kesemuaannya untuk barang dan/atau layanan yang semacam berbentuk:
tuntutan tukar rugi; dan/atau
pemberhentian seluruh tindakan yang terkait dengan pemakaian konsultan hki terdaftar itu. ”
Dengan begitu pemilik merek tercatat atau yang menerima lisensi merek tercatat bisa ajukan tuntutan pada faksi lain yang secara tiada hak memakai merek itu.
Mengajukan tuntutan itu disodorkan ke Pengadilan Niaga ( Pasal 83 Ayat 1 UU Merek dan Tanda-tanda Geografis). Kecuali lewat Pengadilan Niaga, tuntutan merek dapat dituntaskan lewat arbitrase atau pilihan penuntasan perselisihan (Pasal 93 UU Merek dan Tanda-tanda Geografis).
Berkaitan arbitrase tidak diterangkan lebih detil dalam UU Merek dan Tanda-tanda Geografis, namun pada undang-undang itu cuman diterangkan berkenaan pemahaman pilihan penuntasan perselisihan yaitu perundingan, perantaraan, konsiliasi, dan langkah yang lain diputuskan oleh beberapa faksi.
Pada intinya, arbitrase dan pilihan penuntasan perselisihan mengarah ke Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Pilihan Penuntasan Perselisihan (UU Arbitrase). Arbitrase adalah langkah penuntasan satu perselisihan perdata di luar peradilan umum yang didasari pada kesepakatan arbitrase yang dibikin secara tercatat oleh beberapa faksi yang bersengketa. Jadi, penyeleksian arbitrase selaku penuntasan perselisihan didasari ke satu kesepakatan yang dibikin oleh beberapa faksi. Kesepakatan Arbitrase ini bisa dibikin saat sebelum perselisihan berlangsung (arbitration clause ) atau dibikin seteleah perselisihan berlangsung (submission clause).
Selanjutnya, berdasar UU Merek dan Tanda-tanda Geografis bisa diambil kesimpulan jika penuntasan perselisihan merek bukan hanya bisa dituntaskan lewat tuntutan di pengadilan niaga, tetapi dapat dituntaskan lewat arbitrase atau pilihan penuntasan perselisihan.
Jika beberapa faksi pengin menyelesaiakan satu perselisihan merek lewat arbitrase, karena itu awalnya beberapa faksi harus membuat satu persetujuan tercatat atau kesepakatan untuk pilih arbitrase selaku komunitas penuntasan perselisihan. Kesepakatan ini bisa dibikin saat sebelum atau setelah perselisihan berlangsung. Ini sesuai konsep arbitrase yang tercantum pada UU Arbitrase, di mana arbitrase satu penuntasan perselisihan yang didasari ke satu kesepakatan arbitrase. Dengan begitu, dalam soal perselisihan merek, beberapa faksi bisa pilih arbitrase selaku komunitas penuntasan perselisihan.